Rabu, 14 Januari 2009

PROSPEK PENGGUNAAN PENDEKATAN KUANTITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

Dalam menggunakan pendekatan kuantitatif, statistika yang paling banyak dipakai para ekonom adalah regresi darab (berganda) dan runtun waktu. Para psikolog dan sosiolog senang sekali menggunakan analisis faktor (Sembiring, 1984).Namun betapapun penting dan besar kegunaannya, kiranya perlu kita sadari bahwa matematika dan juga statistika bukanlah pengetahuan yang menentukan, melainkan peralatan yang sekedar membantu analisis masalah sosial ekonomi.
Djojohadikusumo (1974) memperingatkan bahwa meskipun matematika sangat membantu melatih logika, meningkatkan kemampuan analisis, tetapi dia tidak bisa dipakai untuk memecahkan masalah sosial dan ekonomi itu sendiri.
Memang matematika dan statistika hanyalah sebagai alat, dan bukan tujuan. Oleh karena itu sebaiknya kita berlaku arif di dalam menggunakan alat itu dalam setiap menghadapi masalah sosial ekonomi. Jan Tinbergen, seorang ahli ekonometrika berkebangsaan Belanda dengan rendah hati berkata sebagai berikut :
“Altough I am a believer in the use of models, I don’t think that models are the complete truth. On the contrary, I think they are only a help. They’re a help to the planner, but unless we add a good deal of common sense, models may very easily lead us astray” (Supranto, 1980)
Agar penggunaan pendekatan kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial dapat berhasil dengan baik, banyak usaha dapat dilakukan. Tampubolon (1984) menawarkan tiga jalan yang bisa ditempuh, yaitu :
1. Dibutuhkan orang-orang yang terdidik dalam bidang matematika dan ilmu sosial dan kepada sarjana matematika/statistika dimasukkan bahan-bahan ilmu sosial.
2. Memperluas penelitian ilmu sosial yang menggunakan pemikiran matematis.
3. Dibutuhkan penelitian yang menjelaskan secara lebih umum tentang hubungan yang mungkin antara matematika dan ilmu sosial. Kita mempelajari masalah-masalah khusus dengan maksud untuk memperoleh pengerian yang lebih baik tentang kecocokan pemikiran ilmu perilaku dan struktur berbagai metode matematika.
Usaha yang pertama tampaknya sudah dicoba, misalnya yang dilaksanakan oleh Program Studi Statistika Terapan pada F-MIPA Universitas terbuka; kira-kira 25 % dari jumlah SKS total memuat mata kuliah ilmu sosial atau gabungan dari Matematika, Statistika, dan ilmu-ilmu sosial seperti Model Ekonometri dan Pengantar Sosiometri. Usaha yang kedua, sudah dipelopori oleh ilmu ekonomi, psikologi dan untuk sebagian kecil oleh sosiologi dan ilmu politik. Sedangkan usaha atau jalan yang ketiga dapat diwujudkan dalam bentuk interaksi yang baik antara statistikawan/matematikawan dan ilmuwan sosial. Dalam hal ini ilmuwan sosial menyediakan data atau permasalahan, sedangkan statistikawan/matematikawan menyediakan atau mencari (kalau belum ada) metode analisis yang sesuai dengan permasalahan yang diajukan oleh ilmuwan sosial. Kerjasama seperti itu telah berhasil dirintis oleh fisikawan dan ahli-ahli teknik dengan para matematikawan/statistikawan, sehingga perkembangan matematika/statistika seringkali dipengaruhi oleh perkembangan dalam fisika dan ilmu teknik, dan begitupun sebaliknya.
Salah satu contoh yang patut untuk diketengahkan mengenai kerjasama antara ilmuwan sosial dan matematikawan adalah diciptakannya fungsi produksi Cobb-Douglas yang terkenal itu. Fungsi produksi Cobb-Douglas dibuat oleh matematikawan Charles W. Cobb dan ekonom Faul H. Douglas sekitar tahun 1928.
Dari hasil kerjasama ini dapat diharapkan munculnya generasi baru, berupa ilmuwan sosial yang tangguh dalam penguasaan metode kuantitatif, sebaliknya pada pihak lain para matematikawan/statistikawan akan menjadi lebih peka lagi di dalam mengantisipasi penggunaan pengetahuannya, sebab matematika dan statistika tak dapat tumbuh subur dalam lingkungan yang tertutup. Statistika/matematika sebagai suatu disiplin ilmu tidaklah menghasilkan data; data berasal dari disiplin ilmu lain, seperti ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Karena itu, statistika tanpa bidang lain akan cenderung steril.
Idealnya barangkali, terbentuknya ilmuwan sosial yang juga mahir dalam penguasaan metode kuantitatif dan terbentuknya statistikawan/matematikanwan yang mempunyai minat yang besar terhadap ilmu sosial. Ini bukan usaha yang mudah, seperti yang dikatakan oleh Sembiring (1984) :
“Membentuk staf khusus di suatu jurusan untuk melayani kebutuhan statistika sudah tentu bukan hal yang mudah. Mencari seorang sosiolog, misalnya yang memahami statistika dengan baik bukanlah hal yang mudah, demikian pula mencari seorang statistikawan yang senang pada sosiologi mungkin lebih sulit lagi, apalagi statistikawan di banyak negara (termasuk di Indonesia) masih merupakan komoditas langka “
Meskipun usaha-usaha untuk memasyarakatkan pendekatan kuantitatif di kalangan ilmuwan sosial atau calon ilmuwan sosial tidak mudah, karena adanya hambatan-hambatan tertentu tetapi usaha itu harus terus dicoba.

http://tumoutou.net/702_04212/w_nasruddin.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar